TIDAK PERLU KELILING DUNIA

WELCOME TO THE NURSE ASRAMA

keperawatan

Jumat, 16 Januari 2009




LP PADA PASIEN DENGAN SINDROM NEFROTIK

KONSEP DASAR

  1. Pengertian

Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang timbul dari kehilangan protein karena kerusakan glomerulus yang difus. (Luckmans, 1996 : 953).

Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. (Ngastiyah, 1997).

  1. Etiologi

Sebab penyakit sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi:

  1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.

  1. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh:

    1. Malaria kuartana atau parasit lain.
    2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
    3. Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
    4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
    5. Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik.
  1. Sindrom nefrotik idiopatik ( tidak diketahui sebabnya )

Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk membagi dalam 4 golongan yaitu: kelainan minimal,nefropati membranosa, glumerulonefritis proliferatif dan glomerulosklerosis fokal segmental.

  1. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang muncul pada anak yang mengalami Sindrom nefrotik adalah:

  1. Oedem umum ( anasarka ), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital.
  2. Proteinuria dan albuminemia.
  3. Hipoproteinemi dan albuminemia.
  4. Hiperlipidemi khususnya hipercholedterolemi.
  5. Lipid uria.
  6. Mual, anoreksia, diare.
  7. Anemia, pasien mengalami edema paru.
  1. Klasifikasi

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

    1. Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic syndrome).

Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.

    1. Sindrom Nefrotik Sekunder

Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.

    1. Sindrom Nefrotik Kongenital

Factor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal. Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

  1. Patofisiologi

Kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik yang paling utama adalah proteinuria sedangkan yang lain dianggap sebagai manifestasi sekunder. Kelainan ini disebabkan oleh karena kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang sebabnya belum diketahui yang terkait dengan hilannya muatan negative gliko protein dalam dinding kapiler. Pada sindrom nefrotik keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein yang sebelumnya terjadi filtrasi protein didalam tubulus terlalu banyak akibat dari kebocoran glomerolus dan akhirnya diekskresikan dalam urin. (Husein A Latas, 2002 : 383).

Pada sindrom nefrotik protein hilang lebih dari 2 gram perhari yang terutama terdiri dari albumin yang mengakibatkan hipoalbuminemia, pada umumnya edema muncul bila kadar albumin serum turun dibawah 2,5 gram/dl. Mekanisme edema belum diketahui secara fisiologi tetapi kemungkinan edema terjadi karena penurunan tekanan onkotik/ osmotic intravaskuler yang memungkinkan cairan menembus keruang intertisial, hal ini disebabkan oleh karena hipoalbuminemia. Keluarnya cairan keruang intertisial menyebabkan edema yang diakibatkan pergeseran cairan. (Silvia A Price, 1995: 833).

Akibat dari pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah arteri menurun dibandingkan dengan volume sirkulasi efektif, sehingga mengakibatkan penurunan volume intravaskuler yang mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi ginjal. Hal ini mengaktifkan system rennin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh darah dan juga akan mengakibatkan rangsangan pada reseptor volume atrium yang akan merangsang peningkatan aldosteron yang merangsang reabsorbsi natrium ditubulus distal dan merangsang pelepasan hormone anti diuretic yang meningkatkan reabsorbsi air dalam duktus kolektifus. Hal ini mengakibatkan peningkatan volume plasma tetapi karena onkotik plasma berkurang natrium dan air yang direabsorbsi akan memperberat edema. (Husein A Latas, 2002: 383).

Stimulasi renis angiotensin, aktivasi aldosteron dan anti diuretic hormone akan mengaktifasi terjadinya hipertensi. Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserid, dan lipoprotein serum meningkat yang disebabkan oleh hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, dan terjadinya katabolisme lemak yang menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase plasma. Hal ini dapat menyebabkan arteriosclerosis. (Husein A Latas, 2002: 383).

  1. Pathways

idiopatik

Reaksi auto imun

Penyakit sekunder

Tekanan hidrostatik

Tekanan

Osmotic plasma

Transudasi air dan elektrolit ke ruang intertisiil

edema

Sel terjepit

Gangguan metabolisme sel

Stimulasi jaringan tubuler

kelelahan

Intoleransi

aktivitas

Aktivasi mekanisme renin angiotensin

Stimulasi duktus kolektifus

Aktivasi mekanisme renin angiotensin

Stimulasi jaringan tubuler

Stimulasi duktus kolektifus

Kontriksi pembuluh darah

Reabsorbsi Na

Reabsorbsi

air

oliguri

hipertesi

Edema anasarka

immobilitas

Penekanan lama pada tubuh

Gg. Integritas kulit

bedrest

Sulit bergerak

Perubahan penampilan

Intoleransi aktivitas

Gg. Body image

Retensi cairan diseluruh tubuh

Kelebihan volume cairan

Paru-paru

Ekspansi dada dan paru

Ventilasi tidak adekuat

Sesak nafas

Perubahan pola nafas

Abdomen

Menekan gaster

Mual, muntah

anoreksia

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

Edema disaluran pencernaan

usus

Absorbsi tidak adekuat

Gg. Pola eliminasi diare

  1. Pemeriksaan Penunjang
  1. Laboratorium
    1. Urine

Volume biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor, sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin, porfirin.

    1. Darah

Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium meningkat. Albumin <>

  1. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.
  1. Penatalaksanan
  1. Diperlukan tirah baring selama masa edema parah yang menimbulkan keadaan tidak berdaya dan selama infeksi yang interkuten. Juga dianjurkan untuk mempertahankan tirah baring selama diuresis jika terdapat kehilangan berat badan yang cepat.
  2. Diit. Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai 1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat dihilangkan. Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein. Diit harus mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin masukan yang adekuat.
  3. Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
  4. Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka harus diswab dengan air hangat.
  5. Kemoterapi:
  • Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari. Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus, konvulsi dan hipertensi.
  • Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan siklofosfamid.
  1. Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
  2. Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan steroid dan siklofosfamid.
  3. Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang tepat, penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan dekubitus.
  4. Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini. Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
  1. ASUHAN KEPERAWATAN
  1. Pengkajian
        • Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.
        • Kaji riwayat kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan dan kegagalan fungsi ginjal.
        • Observasi adanya manifestasi dari Sindrom nefrotik : Kenaikan berat badan, edema, bengkak pada wajah ( khususnya di sekitar mata yang timbul pada saat bangun pagi , berkurang di siang hari ), pembengkakan abdomen (asites), kesulitan nafas ( efusi pleura ), pucat pada kulit, mudah lelah, perubahan pada urin ( peningkatan volum, urin berbusa ).
        • Pengkajian diagnostik meliputi meliputi analisa urin untuk protein, dan sel darah merah, analisa darah untuk serum protein ( total albumin/globulin ratio, kolesterol ) jumlah darah, serum sodium.
  1. Prioritas Diagnosa Keperawatan
  • Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)
  • Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
  • Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)
  • Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif (Carpenito, 1999:204).
  • Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)
  • Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)
  • Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).
  • Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.
  1. Perencanaan Keperawatan
    Kelebihan volume cairan b. d. penurunan tekanan osmotic plasma. ( Wong, Donna L, 2004 : 550)

Tujuan: tidak terjadi akumulasi cairan dan dapat mempertahankan keseimbangan intake dan output.

KH: menunjukkan keseimbangan dan haluaran, tidak terjadi peningkatan berat badan, tidak terjadi edema.

Intervensi:

  • Pantau, ukur dan catat intake dan output cairan
  • Observasi perubahan edema
  • Batasi intake garam
  • Ukur lingkar perut
  • timbang berat badan setiap hari

Perubahan pola nafas b.d. penurunan ekspansi paru.(Doengoes, 2000: 177)
kolaborasi pemberian obat-obatan sesuai program dan monitor efeknya

Tujuan: Pola nafas adekuat

KH: frekuensi dan kedalaman nafas dalam batas normal

Intervensi:

    1. auskultasi bidang paru
    2. pantau adanya gangguan bunyi nafas
    3. berikan posisi semi fowler
    4. observasi tanda-tanda vital
    5. kolaborasi pemberian obat diuretik

      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. anoreksia. (Carpenito,1999: 204)

Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi

KH: tidak terjadi mual dan muntah, menunjukkan masukan yang adekuat, mempertahankan berat badan

Intervensi:

  1. tanyakan makanan kesukaan pasien
  2. anjurkan keluarga untuk mrndampingi anak pada saat makan
  3. pantau adanya mual dan muntah
  4. bantu pasien untuk makan
  5. berikan makanan sedikit tapi sering
  6. berikan informasi pada keluarga tentang diet klien

    Resti infeksi b.d. menurunnya imunitas, prosedur invasif. (Carpenito, 1999:204).

Tujuan: tidak terjadi infeksi

KH: tidak terdapat tanda-tanda infeksi, tanda-tanda vitl dalam batas normal, leukosit dalam batas normal.

Intervensi:

  1. cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
  2. pantau adanya tanda-tanda infeksi
  3. lakukan perawatan pada daerah yang dilakukan prosedur invasif
  4. anjurkan keluarga untuk mrnjaga kebersihan pasien
  5. kolaborasi pemberian antibiotik

    Intoleransi aktivitas b.d. kelelahan. (Wong, Donna L, 2004:550)

Tujuan: pasien dapat mentolerir aktivitas dan mrnghemat energi

KH: menunjukkan kemampuan aktivitas sesuai dengan kemampuan, mendemonstrasikan peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi:

  1. pantau tingkat kemampuan pasien dalan beraktivitas
  2. rencanakan dan sediakan aktivitas secara bertahap
  3. anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien
  4. berikan informasi pentingnya aktivitas bagi pasien

    Gangguan integritas kulit b.d. immobilitas.(Wong,Donna,2004:550)

Tujuan: tidak terjadi kerusakan integritas kulit

KH: integritas kulit terpelihara, tidak terjadi kerusakan kulit

Intervensi:

  1. inspeksi seluruh permukaan kulit dari kerusakan kulit dan iritasi
  2. berikan bedak/ talk untuk melindungi kulit
  3. ubah posisi tidur setiap 4 jam
  4. gunakan alas yang lunak untuk mengurangi penekanan pada kulit.
              1. Gangguan body image b.d. perubahan penampilan. (Wong, Donna, 2004:553).

Tujuan: tidak terjadi gangguan boby image

KH: menytakan penerimaan situasi diri, memasukkan perubahan konsep diri tanpa harga diri negatif

Intervensi:

  1. gali perasaan dan perhatian anak terhadap penampilannya
  2. dukung sosialisasi dengan orang-orang yang tidak terkena infeksi
  3. berikan umpan balik posotif terhadap perasaan anak
              1. Gangguan pola eliminasi:diare b.d. mal absorbsi.

Tujuan: tidak terjadi diare

KH: pola fungsi usus normal, mengeluarkan feses lunak

Intervensi:

  1. observasi frekuensi, karakteristik dan warna feses
  2. identifikasi makanan yang menyebabkan diare pada pasien
  3. berikan makanan yang mudah diserap dan tinggi serap.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2003. Medical Surgical Nursing (Perawatan Medikal Bedah), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta : EGC.

Carpenito, L. J.1999. Hand Book of Nursing (Buku Saku Diagnosa Keperawatan), alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilyinn E, Mary Frances Moorhouse. 2000. Nursing Care Plan: Guidelines for Planning and Documenting Patient Care (Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), alih bahasa: I Made Kariasa. Jakarta: EGC.

Donna L, Wong. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Anak, alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC.

Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Price A & Wilson L. 1995. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process (Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit), alih bahasa: Dr. Peter Anugrah. Jakarta: EGC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar